Minggu, 08 Juli 2012

Mendahulukan Kepentingan Rakyat



Rakyat seringkali absen atau diabsenkan dalam sebuah kebijakan yang dikeluarkan atau dihasilkan oleh perangkat negeri ini. Seperti ini hak yang seringkali kita dengar dalam beberapa issue bermunculan akhir-akhir ini, terakhir menyangkut hal ini adalah pemberitaan mengenai masalah paling penting dari kondisi masyarakat kita misalnya saja masalah kesehatan, pendidikan dan juga masalah kebutuhan pokok lainnya yang di lapangan hanya jadi opsi kedua dari sebuah kebijakan. Sehingga disinyalir pemerintah dalam hal ini negara hanya ada pada saat pengurusan KTP, KK dan urusan-urusan administratif saja dan itupun masih dalam tingkatan pemerintahan paling bawah. Sehingga cerminan yang muncul adalah negara “lalai” dalam urusan memikirkan kebutuhan rakyatnya.

Berangkat dari hal itu kemudian rakyat seakan-akan menjadi subordinat dari negara, padahal secara teoritik dalam pembentukan sebuah negara dibutuhkan rakyat, kemudian wilayah dan adanya pengakuan. Dalam hal urusan pemerintahan kemudian rakyat menjadi unsur paling penting sebagai bagian dari pihak yang diperintah/diatur kepentingan dalam hal layanan sipil dan jasa publik (Ndraha,2003). Untuk itu kemudian bagaimana jadinya jika rakyat “absen” dalam sebuah negara ataupun pemerintahan? Istilah lainnya bagaimana jadinya sebuah pemerintahan hanya memiliki yang rakyat secara bersamaan “libur” menjadi warga negara? Lalu apa jadinya rakyat tanpa pemerintah atau rakyat tanpa wakilnya? Tentunya terjadi ketidakseimbangan dalam wilayah sosial kita, kemudian menjadikan lingkungan sosial yang cenderung tanpa orientasi dan potensi konflik komunal sistemik.


Secara konsepsional kita hidup dalam sebuah paguyuban besar bangsa dan dihimpun dalam sebuah republik, yang kemudian hal ini menjadi sebuah konsensus masyarakat melalui para foundingfather bangsa sebagai upaya mengarusutamakan rakyat dalam negara Indonesia ini. Lalu dengan kondisi negeri ini yang hanya bisa menjadikan rakyat tidak seperti substansi utama yang dijunjung dalam republik. Rakyat biasanya dihadirkan dalam pemilu maupun pemilukada dengan implikasi “penghambaan” sementara dari para pengeruk kekuasaan dinegeri ini. Sementara disisi lain rakyat maupun kepentingan-kepentingan mereka yang mesti dijadikan pointer utama menjadi hilang atau disamarkan dalam setiap kebijakan yang lahir, dan hanya menjadi pertentangan kepentingan golongan dan kelompok tertentu.

Pada gilirannya kemudian masih santer di telinga kita tentang munculnya para tokoh agama di negeri ini yang mengeluarkan sejumlah kebohongan kekuasaan saat ini cerminan tersebut bisa jadi lahir dari sebuah keprihatinan yang sudah “membosankan” untuk sekedar dijadikan ikhtisar dan pedoman “kesabaran kolektif” umat beragama yang disampaikan di tiap-tiap khutbah yang disampaikan. Hal ini pada gilirannya menjadi sebuah gambaran tersendiri bagi perkembangan demokrasi yang seringkali muncul ketika pemerintah mulai dikritik oleh rakyatnya. Begitulah penggambaran demokrasi dalam ranah perpolitikan kita setiap orang berhak untuk mendefinisikan demokrasi seperti apa yang dia yakini dan sejauh mana defenisi yang dinyatakannya itu masih dalam koridor kepentingan dirinya dan golongannya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa demokrasi politikus, demokrasi rakyat, ataupun demokrasi penguasa adalah sesuatu hal yang berbeda satu sama lain baik secara substansi ataupun secara kongkretisasinya dalam ranah kehidupan negeri ini.

Ironisnya memang dalam konsepsi idea politik di negeri ini secara substantif menganut demokrasi dalam bentuk republik namun dalam perjalanan kongkretnya cenderung liberal, namun secara garis besar kemudian ini menjadi sebuah niatan dimana rakyat sebagai unsur yang paling dikedepankan dalam setiap kebijakan yang dimunculkan. Setidaknya hal ini kemudian dijamin secara utuh dalam UUD 1945 dan pandangan bangsa indonesia yang beralaskan atas sebuah multikulturalisme. Sudah semestinya rakyat menjadi pertimbangan paling utama dalam pembangunan negeri ini seperti konsepsi yang diwujudkan dalam jiwa republik . Setidaknya kita bisa merujuk pada konsepsi Bhineka Tunggal Ika, sehingga upaya pewarnaan satu etnis, suku, wilayah dan keluarga sebagai satu-satunya entitas dalam penguasaan politik terutama tingkat nasional dan kedaerahan dilebur menjadi keinginan bersama untuk mengarusutamakan kepentingan bersama.

Politik memang berkenaan mengenai kekuasaan namun tidak sepenuhnya kemudian hanya sebatas itu namun politik merupakan upaya untuk menciptakan kebaikan bersama rakyat. Namun bilamana kemudian ketika borok ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintahan hari ini yang dipicu dengan keinginan para politikus yang mendiami dinding kokoh senayan hari ini, yang kemudian berniat untuk mendirikan sebuah gedung baru yang memakan dana cukup besar hanya dengan alasan untuk memacu peningkatan kinerja para anggotanya dan gedung yang ada sekarang sudah tidak layak/nyaman lagi. Namun ironisnya pengakuan tersebut muncul ditengah ketimpangan dalam realitas sosial di masyarakat dengan berbagai macam bentuk misalnya saja gedung sekolah, keterbatasan pangan untuk warga miskin, dan persoalan kemanusiaan lainnya yang biasanya dikesampingkan atau hanya dijadikan “jualan” kampanye politik.

Jadi jangan heran atau menyalahkan pihak-pihak yang berlaku anarkis hingga tindakan-tindakan kriminal (pelaku pemboman) yang terjadi sebagai sebuah perilaku “bar-barisme”dari suatu kelompok tertentu namun sebagai restropeksi diri kita untuk sebuah pandangan kepedulian terhadap sesama. Bisa jadi kelompok-kelompok tersebut lahir dari sebuah kejenuhan untuk tetap sabar dengan kondisi realitas sosial hari ini ataupun ternyata mereka mejadi bagian yang terlewatkan dalam perilaku amal saleh kita sebagai umat beragama.
Sudah sepatutnya kemudian rakyat menjadi syarat utama dalam keperluan kenegaraan dan bukan saja menjadi lahan pencitraan pemimpinnya. Dengan kondisi seperti ini misalnya maka hanya akan menjadikan kita pada sebuah posisi negara yang memiliki defisit demokrasi atau demokrasi yang hanya dikuasai oleh para elite untuk kemudian menglegitimasi kepentingan-kepentingan mereka. Untuk itu kita perlu merehabilitasi konsep politik yang lebih fundamental dan substantif dalam wilayah praksisnya, politik harus diselamatkan dari pendefenisian yang sempit dan dangkal selama ini. Ia harus ditafsirkan dalam kerangka dasarnya yakni segala tindakan untuk mencapai keadilan dan kebahagiaan umum (Robert, 2007). Politik bukan kuasa dan bukan pula jabatan, sehingga kemudian politik bisa diliat secara jelas dan rasional dalam tataran pemahaman rakyat.

Rakyat mestinya diberikan sebuah pendidikan politik yang lebih berkarakter dari kedewasaan para penguasan dan politikus negeri ini. Dengan menciptakan masyarakat yang lebih parsipatorislah hal ini diwujudkan seperti konsepsi Hatta (Robert, 2007), pemerintahan yang akuntabel dan transparan dalam kebijakannya maupun mengenai politik nasional berbasis pendidikan. Rakyat yang sadar dan bertanggungjawab lebih penting bagi pendirian negara ketimbang rakyat yang semata-mata kagum pada citra pimpinannya. Jadi dengan lebih mengarusutamakan rakyat dalam politik pemerintahan negeri ini bukan saja kemudian dicapai dengan otonomi daerah namun juga dengan sebagaimana tingkat partisipasi rakyat, akuntabitas dan transparasi kepada publik untuk pencapaian kebahagiaan bersama dalam republik. Perubahan itu memang tidak mesti secara fundamental dan cepat namun perlu proses yang utuh dan kolektif dalam ruang sosial politik kita yang lebih egaliter dengan mengutamakan kepentingan masyarakat luas.














Tidak ada komentar:

Posting Komentar